Etika Bisnis
1.
Pengertian Etika Bisnis
Bertens
(2000:36) mengatakan bahwa etika bisnis dalam bahasa Inggris disebut business
ethics. Dalam bahasa Belanda dipakai nama bedrijfsethick (etika perusahaan) dan
dalam bahasa Jerman Unternehmensethik (etika usaha). Cukup dekat dengan itu
dalam bahasa Inggris kadang-kadang dipakai corporate ethics (etika
korporasi). Narasi lain adalah “etika ekonomis” atau ”etika ekonomi”
(jarang dalam bahasa Inggris economic ethics; lebih banyak dalam bahasa Jerman
Wirtschaftsethik). Ditemukan juga nama management ethics atau managerial ethics
(etika manajemen) atau organization ethics (etika organisasi).
Yosephus
(2010:79) mengatakan bahwa Etika Bisnis secara hakiki merupakan Applied Ethics
(etika terapan). Di sini, etika bisnis merupakan wilayah penerapan
prinsip-prinsip moral umum pada wilayah tindak manusia di bidang ekonomi,
khususnya bisnis. Jadi, secara hakiki sasaran etika bisnis adalah perilaku
moral pebisnis yang berkegiatan ekonomi.
Pengertian
tersebut menjelaskan bagaimana para pelaku bisnis bertindak secara moral
dalam melakukan bisnisnya. Atau etika bisnis mengacu pada tindakan bisnis yang
benar sesuai dengan norma-norma yang ada. Prinsip moral tersebut pada dasarnya
saling bertautan dalam kesatuan kerangka yang utuh dan sistematis yang disebut
teori. Etika bisnis sangat penting bukan saja bagi pengusaha, melainkan
juga bagi masyarakat / konsumen.
Suatu tatanan
sosial yang memiliki nilai, norma, peran, status, pranata, dan struktur
yang terlembaga akan hancur jika salah satu etika (yaitu etika berkompetisi
dalam meraih kekayaan) terabaikan atau tidak dilandasi etika dalam perilaku
bisnis / ekonomi. Dengan prinsip saling menguntungkan, maka itulah sesungguhnya
yang diharapkan masyarakat. Bila bisnis dijalankan tanpa dilandasi etika moral,
maka bukan hanya masyarakat / konsumen yang akan mengalami kerugian, tapi
sesungguhnya pelaku bisnis itu sendiri akan mengalami kerugian.
2.
Teori Etika Bisnis
Ada beberapa
teori tentang etika bisnis seperti yang diungkapkan oleh Yosephus (2010)
sebagai berikut :
a.
Teori Kebahagiaan
Teori
kebahagiaan mencakup hedonisme dan utilitarisme. Baik hedonisme maupun
utilitarisme sama-sama merupakan teori etika normatif yang mempersoalkan tujuan
hidup manusia. Secara umum, baik penganut hedonisme maupun utilitarisme
sependapat bahwa kebahagiaan merupakan satu-satunya tujuan hidup semua manusia,
maka prinsip pokok yang mendasari setiap perilaku manusia adalah bagaimana
mencapai kebahagiaan sebagai satu-satunya tujuan hidup.
b.
Utilitarisme
Utilitarisme
berasal dari kata utilis dalam bahasa Latin yang berarti berguna atau
berfaedah. Menurut utilitarisme, suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika
tindakan tersebut bermanfaat atau berguna. Persoalnnya berguna atau bermanfaat
untuk siapa dan dalam kondisi seperti apa? Pada pertannyaan seperti itu, kaum
utilitarisme menjawab bahwa suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika
berguna atau bermanfaat bagi si pelaku maupun bagi semua orang yang terkena
dampak dari perbuatan atau tindakan itu. Sebagai teori etika, utilitarisme
sering disebut the greatest happiness theory atau teori kebahagian terbesar.
Dibedakan antara utilitarisme tindakan dan utilitarisme peraturan, tergantung
apakah kriteria utilitaristik itu ditetapkan pada tindakan atau pada peraturan.
Prinsip yang
dipegang teguh oleh utilitarisme tindakan adalah: “bertindaklah sedemikian
rupa, sehingga tindakanmu itu menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak
mungkin orang”. “Bertindaklah menurut peraturan yang pelaksanaannya akan
menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”.
Maksudnya suatu tindakan adalah baik secara moral jika menghasilkan kebaikan
atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang yang terkena dampak dari
tindakan tersebut. Secara psikologis, kedua penguasa tersebut memberikan
perasaan-perasaan tertentu, maka yang terjadi bagi manusia dalam kehidupan
nyata adalah menghindari pahit, atau rasa sakit atau mendekatkan diri kepada
pleasure (rasa nikmat). Kebahagiaan akan tercipta jika manusia mendekatkan
dirinya pada rasa nikmat atau menjauhkan diri dari rasa sakit.
Ada sejumlah
art mill ini. Pertama-tama, John Stuart Mill (1806-1873) dalam
(Yosephus,2010:93) mengkritik gagasan Jeremy Bentham. Menurut Stuart Mill,
karena ada tingkatan dalam kesenangan atau kebahagiaan, maka aspek kualitas
dari kesenangan atau mutlak perlu diperhatikan. Apalagi kualitas kesenangan
manusia pasti menegaskan “it is better to be a human being dissatisfied than a
pig satisfied, better to be socrate than a fool satisfied.” Menurut Stuart
Mill, lebih baik menjadi seorang manusia yang tidak puas dari pada menjadi
seekor babi yang puas, lebih baik menjadi Socrates yang tidak puas dari pada
seorang tolol yang puas dan kita harus bertindak demikian rupa agar tindakan
kita menghasilkan akibat baik sebesar mungkin bagi jumlah orang sebanyak
mungkin.
Dengan
penegasan itu, Stuart Mill menggaris-bawahi kebahagiaan masing-masing atau
kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam satu orang. Maksudnya suatu tutur
kata atau tindakan adalah baik secara moral, jika menghasilkan lebih besar
kebahagiaan dari pada penderitaan. Hal itu harus diukur dari pengalaman semua
orang yang melakukan tindakan tersebut, bukan satu orang yang terlibat dalam
tindakan itu. Dengan gagasan itu, Stuart Mill tidak hanya memperbaiki gagasan
utilitarisme Jeremy Bentham, melainkan juga memperkokohnya. Itulah alasannya
mengapa utilitarisme Stuart Mill sebagai “utilitarianisme”, bukan utilitarisme
Jeremy Bentham (1748-1832). Secara kodrati, manusia telah ditempatkan di bawah
dua penguasa yang berdaulat, yakni : rasa sakit dan rasa nikmat. Dengan kata
lain, Bentham menegaskan bahwa dalam keseharian hidup manusia selalu berada di
antara kedua penguasa tersebut.
c.
Hedonisme
Hedonism
berasal dari kata hedone dalam bahasa Yunani yang berarti ”nikmat atau
kegembiraan”. Sebagai paham teori moral, hedonisme bertolak dari asumsi dasar
bahwa manusia hendaknya berperilaku sedemikian rupa agar hidupnya bahagia.
Dengan singkat namun tegas, kaum hedonisme merumuskan : “carilah nikmat dan
hindarilah rasa sakit!”. Berdasarkan rumusan ini, bagaimana hedonism (terutama
Aristippos dan Epikuros) memaknai hidup. Bagi mereka hidup adalah upaya
menjauhi rasa sakit dan mendekatkan diri pada rasa nikmat.
Motivasi yang
paling kuat di balik tujuan-tujuan yang luhur, seperti: penegakan kebenaran dan
keadilan serta tujuan-tujuan suci, misalnya penyebaran iman, bahwa dalam
melakukan kegiatan apapun juga secara kodrati manusia selalu tergerak mencari
dan mendapatkan kenikmatan hidup. Sebuah penipuan diri dan kemunafikan jika ada
orang yang mengatakan segala kegiatannya ditunjukkan demi cita-cita luhur atau
demi membantu atau menolong orang-orang lain. Jadi, menurut paham hedonism
psikologis, manusia itu pada dasarnya sangat egois karena segala tindakannya
hanya ditunjukkan untuk mendapatkan kenikmatan dirinya sendiri.
Epikus
(341-270 SM) memandang kenikmatan sebagai tujuan hidup manusia dan secara
kodrati manusia selalu tergerak untuk mencari kenikmatan bagi dirinya sendiri.
Hal itu disebabkan secara fisik, tubuh manusia merupakan dasar sekaligus akar
dari segala kenikmatan manusiawi. Menurut Epikus, ada tiga jenis keinginan
dalam diri manusia yang dapat memotivasi seseorang mengupayakan kenikmatan,
yaitu : (1) Keinginan alamiah yang mutlak perlu, seperti keinginan untuk makan
dan minum. Keinginan alamiah seperti ini selalu berhubungan dengan
kebutuhan-kebutuhan yang paling primer dari manusia, (2) Keinginan alamiah yang
dapat ditunda, misalnya keinginan untuk makan enak atau keinginan untuk
mendapatkan televisi baru yang lebih besar padahal sudah memiliki televisi
kecil, (3) Keinginan yang sia-sia atau keinginan yang belum pasti realisasinya,
seperti ingin menjadi kepala negara atau ingin memiliki lukisan karya Leonardo
da Vinci.
Epikos
menganjurkan agar manusia selalu memandang kehidupan sebagai sesuatu
keseluruhan yang terdiri dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
Epikos telah menyatu dalam satu keinginan saja yang sekaligus mencirikan derap
jelajah bisnis kontemporer, yaitu meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam
tempo sesingkat-singkatnya. Upaya meraup keuntungan kini telah bergeser dari
upaya-upaya yang bersifat co-speed menjadi co-present. Semua strategi bisnis
kontemporer sebagaimana dapat ditelusuri melalui analisis jitu terhadap akurasi
penetapan SWOT dan SWAN menunjukkan bahwa maximizing profit telah menjadi
tujuan, sekaligus mengilhami dan memotivasi para pebisnis kontemporer untuk
memenuhi keinginan para pembisnis kontemporer ”to have more”. Pada tatanan ini,
menjadi orang bijak yang menurut sang hedonis, Epikos lalu menjadi sesuatu yang
hampir tidak mungkin dicapai oleh para pebisnis kontemporer.
d. Teori
Kewajiban (deontologisme)
Teori
deontology justru mengukur baik atau buruknya suatu tindakan dari segi wajib
dan tidaknya perbuatan tersebut dilakukan. Kata “deon” (Yunani) dari istilah
deontology berarti kewajiban atau apa yang wajib dilakukan. Sistem atau teori
moral ini pertama kali diajukan oleh filsuf-etikawan Jerman, Immanuel Kant
(1724-1904).
Menurut Immanuel Kant inti ajaran deontology yang disebut baik dalam arti yang sesungguhnya, hanyalah “good will” atau kehendak baik. Jadi, good will, hanya bisa dikatakan baik jika memenuhi persyaratan tertentu. Pada tataran ini, politik, bisnis, kepandaian, atau kekuasaan adalah good will atau kehendak baik.
Menurut Kant, kehendak itu menjadi baik, kalau yang menjadi dasar dari suatu tindakan adalah kewajiban. Dengan demikian Kant menggaris-bawahi, bahwa suatu perbuatan secara moral adalah baik jika orang yang melakukannya menghormati atau menghargai hukum moral. Hukum moral yang dimaksudkan Kant adalah kewajiban seorang berkehendak baik jika ia hanya menghendaki untuk melakukan yang wajib baginya. Apa yang wajib baginya, yaitu: Pertama, ia dapat memenuhi kewajibannya karena hal itu menguntungkan dirinya, misalnya mendapatkan nama baik atau penghargaan dari orang lain. Kedua,ia melaksanakan kewajibannya karena merasa adanya dorongan langsung dalam hatinya untuk melakukan hal itu, misalnya membantu orang yang mengalami musibah karena terdorong oleh rasa belas kasihan atau rasa iba yang merupakan dorongan langsung dari dalam hatinya. Ketiga, ia melakukan kewajibannya karena ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya.
Menurut Immanuel Kant inti ajaran deontology yang disebut baik dalam arti yang sesungguhnya, hanyalah “good will” atau kehendak baik. Jadi, good will, hanya bisa dikatakan baik jika memenuhi persyaratan tertentu. Pada tataran ini, politik, bisnis, kepandaian, atau kekuasaan adalah good will atau kehendak baik.
Menurut Kant, kehendak itu menjadi baik, kalau yang menjadi dasar dari suatu tindakan adalah kewajiban. Dengan demikian Kant menggaris-bawahi, bahwa suatu perbuatan secara moral adalah baik jika orang yang melakukannya menghormati atau menghargai hukum moral. Hukum moral yang dimaksudkan Kant adalah kewajiban seorang berkehendak baik jika ia hanya menghendaki untuk melakukan yang wajib baginya. Apa yang wajib baginya, yaitu: Pertama, ia dapat memenuhi kewajibannya karena hal itu menguntungkan dirinya, misalnya mendapatkan nama baik atau penghargaan dari orang lain. Kedua,ia melaksanakan kewajibannya karena merasa adanya dorongan langsung dalam hatinya untuk melakukan hal itu, misalnya membantu orang yang mengalami musibah karena terdorong oleh rasa belas kasihan atau rasa iba yang merupakan dorongan langsung dari dalam hatinya. Ketiga, ia melakukan kewajibannya karena ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya.
Bagi Immanuel
Kant, satu-satunya kriteria untuk kewajiban moral adalah imperative kategoris
yang berbunyi: ”bertindaklah secara moral!” imperative disini berarti perintah
yang bernada wajib (das sollen) bukan permintaan, pertama imperative hipotesis,
yakni perintah atau keharusan bersyarat, misalnya kalau ingin mempunyai uang,
bekerjalah. Kedua imperative tanpa syarat.
e.
Teori Keutamaan (virtue ethics)
Apapun
pekerjaan dan profesinya selalu ingin menjadi orang menjadi kuat secara moral
yang berarti memiliki kepribadian yang mantap sehingga selalu sanggup bertindak
sesuai dengan apa yang diyakini sebagai baik dan benar. Kepribadian yang kuat
dan mantap secara moral disebut “keutamaan moral”.
Ada beberapa
keutamaan moral diantaranya sebagai berikut :
1.
Kejujuran
Secara umum
kejujuran diakui sebagai keutamaan atau sikap moral pertama sekaligus
terpenting yang harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya para pebisnis
sebagai makhluk beretika, sampai saat ini diakui bahwa kejujuran identik dengan
kesesuaian antara kata-kata atau ucapan dengan fakta atau perbuatan. Dalam
praksis hidup, orang lebih cenderung memaknai kejujuran dalam format negatif
seperti tidak berbohong atau tidak menipu. Seorang pebisnis kontemporer disebut
“orang jujur” jika segala perkataan yang diucapkan, termsuk janji-janjinya
sesuai dengan fakta atau tindakannya, yakni menepati janji-janjinya. Apa yang
dijanjikan dalam kontrak atau kesepakatan (transaksi) entah dengan pihak luar
(mitra bisnis dan pelanggan konsumen) atau dengan pihak dalam perusahaan (KKB)
selalu ditepati.
Pebisnis yang
jujur tentu akan menganggap kebohongan sebagai sesuatu yang tabu untuk
dilakukan, sebab kejujuran kerap dirasakan sebagai sesuatu yang sangat mahal.
2.
Kepercayaan
Sebagai
keutamaan yang wajib dimiliki oleh para pebisnis kontemporer, kepercayaan
selalu bersifat timbal balik. Maksudnya, pembisnis yang selalu percaya kepada
pihak lain mengandaikan bahwa pihak-pihak lain, apakah karyawan atau mitra
bisnis dan pelanggan akan mempercayainya juga. Ciri timbal balik dalam hal
kepercayaan juga menuntut sikap kritis dari seorang pebisnis. Implikasinya,
seorang pembisnis memang harus bersikap selektif dalam memilih mitra bisnis,
termasuk menyeleksi dan memilih karyawan atau stafnya.
Tujuan mengendalikan
strategi dan taktik merupakan hal-hal yang sangat menentukan bagi keberhasilan
sebuah bisnis untuk mencapai tujuan tersebut. Pada tatanan strategi dan taktik
inilah sikap-sikap moral yang kuat, khususnya kepercayaan selalu mendapatkan
tanggapan berat. Kesamaan tujuan mengindikasikan bahwa sikap yang bertentangan
dengan kepercayaan bukan tabu untuk dilakukan oleh pebisnis kontemporer. Pada
tatanan ini, ”selektivitas” dalam memilih mitra bisnis atau dalam menerima
karyawan merupakan kata kunci yang tidak bisa ditawar-tawar.
3.
Tanggung Jawab
Sebagai
keutamaan moral, tanggung jawab pertama-tama merupakan sikap terhadap tugas
yang membebani seorang pebisnis dan karyawan atau stafnya. Baik pengusaha
maupun karyawan merasa terikat untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang
dipercayakan atau yang diemban. Dalam implikasinya, tanggung jawab tidak pernah
memberi ruang untuk sikap-sikap, seperti malas, acuh tak acuh, dan ragu-ragu.
Sikap tanggung jawab menuntut bahwa sesuatu itu dilakukan dan diselesaikan dengan
sebaik-baiknya.
Dalam bahasa
moral, tugas yang dilakukan secara bertanggung jawab disebut sebagai tugas
mulia karena harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, termasuk jika tidak ada
yang melihat atau mengawasi pelaksanaannya. Di sini, kesediaan untuk
bertanggung jawab merupakan entry-point yang dapat mengantarkan seseorang ke
singgasana moralitas sebagai good risk-taker.
Tugas yang
dilakukan secara bertanggung jawab merupakan tugas mulia karena harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya, meskipun tidak ada pimpinan yang melihat atau supervisor
yang mengawasi pelaksanaannya adalah sama dengan mengatakan bahwa secara hakiki
tanggungjawab mengatasi etika peraturan yang pada dirinya sendiri tak
terpisahkan dari pengawasan atau pengontrolan. Pada tatanan ini, wawasan orang,
apakah manajer atau karyawan yang selalu bersedia untuk bertanggung jawab atas
tugas yang dipercayakan kepadanya bersifat tak terbatas. Mereka merasa
bertanggung jawab kapan dan di mana pun berada. Pebisnis, manajer, dan karyawan
yang memiliki sikap seperti ini merupakan pribadi-pribadi yang selalu bersikap
positif, kreatif, kritis, dan objektif terhadap kondisi riil perusahaan.
Selanjutnya pribadi-pribadi yang bertanggung jawab pastilah orang-orang yang selalu bersedia dimintai dan memberikan pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugas dan kewajiban, termasuk jika mereka lalai dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab. Orang-orang yang bertanggung-jawab selalu siap menjadi good risk-taker. Mereka tidak pernah melemparkan tanggung jawab.
Selanjutnya pribadi-pribadi yang bertanggung jawab pastilah orang-orang yang selalu bersedia dimintai dan memberikan pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugas dan kewajiban, termasuk jika mereka lalai dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab. Orang-orang yang bertanggung-jawab selalu siap menjadi good risk-taker. Mereka tidak pernah melemparkan tanggung jawab.
4.
Keberanian Moral
Keberanian
moral selalu berkaitan dengan kemampuan intelektual untuk menentukan penilaian
sendiri terhadap sesuatu. Keberanian moral terlihat dengan sangat jelas ketika
mereka menolak tegas untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma
moral dan hukum yang ditawarkan kepada mereka, meskipun mereka sebenarnya
membutuhkan atau ada kesempatan yang memadai untuk melakukan hal itu, misalnya
kesempatan untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme atau mengambil
keuntungan pribadi walaupun untuk penolakan dalam hal-hal seperti itu mereka
akan dikucilkan atau dicela oleh yang lain.
Orang yang
memiliki keberanian moral selalu menjadikan dirinya sendiri pijakan bagi
kaum yang lemah, atau yang mederita karena tingkah serta tindakan kelompok
kuat atau pihak yang berkuasa.
5.
Fairness
Sering orang
mengidentikkan dengan “rasa adil”, namun ketika diterapkan ternyata tidak sama
dengan keadilan. Terkadang juga diidentikkan dengan sikap sportif, ketika
diterapkan dalam kondisi konkret ternyata tidak juga persis sama dengan
sportifitas. Sesuatu kondisi yang persis mewakili pengertian istilah fairness
adalah “kesediaan memberikan apa yang patut diberikan kepada semua orang”. Pada
tatanan bisnis, kata “patut” di sini menunjuk kepada apa yang dapat diterima
atau disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis.
Seorang
pebisnis dapat dikategorikan sebagai seorang yang memiliki keutamaan ini jika
pebisnis tersebut selalu bersedia memberikan apa yang patut diberikan kepada
pihak lain, apakah karyawan, pemasok, dan pelanggan dalam kaitannya dengan hak
dan kewajiban. Sebaliknya, pebisnis yang berkeutamaan moral seperti ini selalu
bersedia menerima apa yang patut diterima dari pihak lain, misalnya menerima
hasil pekerjaan yang telah dipercayakan kepada karyawannya. Itulah indikasi keutamaan
fairness yang patut dimiliki oleh seorang pebisnis kontemporer yang
berkepribadian moral yang kuat. Pebisnis seperti itu tidak hanya bersikap
selalu realistik memainkan tetapi juga kritis dalam melaksanakan bisnisnya.
6.
Realistik-kritis
Keutamaan sikap
moral ”realistik” dan “kritis” lebih berkaitan dengan wilayah kognitif atau
wilayah intelektual manusia, termasuk para pebisnis kontemporer. Dalam proses
bisnis, setiap pengusaha akan menghadapi berbagai macam orang dengan berbagai
latar belakang, seperti sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, agama dan
sebagainya. Dalam keberagaman itu para manajer dan karyawan memiliki harapan,
komitmen dan tingkat loyalitas yang berbeda.
Dalam
menghadapi keberagaman latar seperti itu, seorang pembisnis terpanggil untuk
bertanggungjawab terhadap hidup mereka. Para manajer dan karyawan yang berasal
dari latar belakang berbeda adalah identik dengan menegaskan orang-orang
seperti itu (manajer dan karyawan) adalah orang-orang riil. Konsekuensinya,
seorang pebisnis kontemporer harus berlaku riil dalam tanggungjawabnya terhadap
mereka. Pembisnis wajib membuka mata fisik dan mata pikiran terhadap realita
yang ada, baik yang menyangkut perusahaan atau usahanya maupun menyangkut
kondisi riil manajer dan karyawannya. Dengan cara seperti itu seorang pebisnis
kontemporer yang baik secara moral akan melaksanakan tanggung-jawabnya dengan
baik. Seorang pebisnis kontemporer harus bersikap realitis dalam tutur kata dan
tindakannya, bukan bersembunyi dibalik ungkapan-ungkapan yang kabur maknanya.
7.
Rendah Hati
Pertama-tama
harus digaris bawahi bahwa sikap moral dan rendah hati tidak ada sangkut
pautnya dengan “rasa sungkan” kepada atasan atau rekan kerja yang lebih tua
usianya, enggan untuk membela suatu pendirian atau merendahkan diri ke kuasa
pimpinan. Seseorang melihat dirinya sendiri apa adanya, apakah sebagai
karyawan, manajer atau sebagai pimpinan puncak sebuah bisnis. Dalam konteks
bisnis kontemporer, sikap rendah hati merupakan kekuatan batin yang membuat
semua pihak yang terlibat untuk melihat diri dan menampilkan dirinya apa
adanya.
8.
Hormat kepada Diri Sendiri dan Diri-diri
lain
Sebagai
keutamaan moral, hormat terhadap diri sendiri atau orang lain merujuk kepada
suatu kewajiban yang sebenarnya ditujukan kepada diri sendiri dan terhadap
orang lain. Hormat terhadap diri sendiri dan orang lain atau sesama berarti
bahwa manusia wajib memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain sebagai
bernilai. Hal ini didasarkan pada prinsip umum bahwa manusia merupakan pusat
dari segala pengertian, kehendak, memiliki kebebasan, dan suara hati serta
merupakan insan yang berakal budi.
Model
Etika Dalam Bisnis
Carroll dan
Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen
dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya.
1.
Immoral Manajemen
Immoral
manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan
prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada
umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik
dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas
bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya
memanfaatkan kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk
kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok
mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika.
Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.
2.
Amoral Manajemen
Tingkatan
kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral
manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen
seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada
dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak
sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para
manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang
diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada
pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan
apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer
tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa
keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak.
Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang
berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua,
tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya
memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara
sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis
mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe
ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi
kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar
dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
Widyahartono
(1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis
dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar
pemikirannya sebagai berikut :
Bisnis adalah
suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego
pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan yang aturannya sangat berbeda
dari aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Orang yang
mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan
berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang
tak mengenal “values” yang menghasilkan segala cara.
Kalau suatu
praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral
itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria
atau ukuran mereka) dapat dibenarkan.
Pembenaran
diri itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral
dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena
mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai
laba.
3.
Moral Manajemen
Tingkatan
tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah
moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas
diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan
aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan
mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan
prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk
dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis
yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam
komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang
berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka
patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi
dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu
melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan
aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis
yang diambilnya.
Sumber dari :
disertasi Js. Drs. Ongky Setio
Kuncono, MM, MBA, Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan
Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar