Senin, 25 Januari 2016

etika bisnis



Etika Bisnis
1.      Pengertian Etika Bisnis
Bertens (2000:36) mengatakan bahwa etika bisnis dalam bahasa Inggris disebut business ethics. Dalam bahasa Belanda dipakai nama bedrijfsethick (etika perusahaan) dan dalam bahasa Jerman Unternehmensethik (etika usaha). Cukup dekat dengan itu dalam bahasa Inggris kadang-kadang dipakai corporate ethics (etika korporasi). Narasi lain adalah “etika ekonomis” atau ”etika ekonomi” (jarang dalam bahasa Inggris economic ethics; lebih banyak dalam bahasa Jerman Wirtschaftsethik). Ditemukan juga nama management ethics atau managerial ethics (etika manajemen) atau organization ethics (etika organisasi).
Yosephus (2010:79) mengatakan bahwa Etika Bisnis secara hakiki merupakan Applied Ethics (etika terapan). Di sini, etika bisnis merupakan wilayah penerapan prinsip-prinsip moral umum pada wilayah tindak manusia di bidang ekonomi, khususnya bisnis. Jadi, secara hakiki sasaran etika bisnis adalah perilaku moral pebisnis yang berkegiatan ekonomi.
Pengertian tersebut menjelaskan bagaimana para pelaku bisnis bertindak secara moral dalam melakukan bisnisnya. Atau etika bisnis mengacu pada tindakan bisnis yang benar sesuai dengan norma-norma yang ada. Prinsip moral tersebut pada dasarnya saling bertautan dalam kesatuan kerangka yang utuh dan sistematis yang disebut teori. Etika bisnis sangat penting bukan saja bagi pengusaha, melainkan juga bagi masyarakat / konsumen.
Suatu tatanan sosial yang memiliki nilai, norma, peran, status, pranata, dan struktur yang terlembaga akan hancur jika salah satu etika (yaitu etika berkompetisi dalam meraih kekayaan) terabaikan atau tidak dilandasi etika dalam perilaku bisnis / ekonomi. Dengan prinsip saling menguntungkan, maka itulah sesungguhnya yang diharapkan masyarakat. Bila bisnis dijalankan tanpa dilandasi etika moral, maka bukan hanya masyarakat / konsumen yang akan mengalami kerugian, tapi sesungguhnya pelaku bisnis itu sendiri akan mengalami kerugian.

2.      Teori Etika Bisnis
Ada beberapa teori tentang etika bisnis seperti yang diungkapkan oleh Yosephus (2010) sebagai berikut :
a.      Teori Kebahagiaan
Teori kebahagiaan mencakup hedonisme dan utilitarisme. Baik hedonisme maupun utilitarisme sama-sama merupakan teori etika normatif yang mempersoalkan tujuan hidup manusia. Secara umum, baik penganut hedonisme maupun utilitarisme sependapat bahwa kebahagiaan merupakan satu-satunya tujuan hidup semua manusia, maka prinsip pokok yang mendasari setiap perilaku manusia adalah bagaimana mencapai kebahagiaan sebagai satu-satunya tujuan hidup.
b.      Utilitarisme
Utilitarisme berasal dari kata utilis dalam bahasa Latin yang berarti berguna atau berfaedah. Menurut utilitarisme, suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika tindakan tersebut bermanfaat atau berguna. Persoalnnya berguna atau bermanfaat untuk siapa dan dalam kondisi seperti apa? Pada pertannyaan seperti itu, kaum utilitarisme menjawab bahwa suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika berguna atau bermanfaat bagi si pelaku maupun bagi semua orang yang terkena dampak dari perbuatan atau tindakan itu. Sebagai teori etika, utilitarisme sering disebut the greatest happiness theory atau teori kebahagian terbesar. Dibedakan antara utilitarisme tindakan dan utilitarisme peraturan, tergantung apakah kriteria utilitaristik itu ditetapkan pada tindakan atau pada peraturan.
Prinsip yang dipegang teguh oleh utilitarisme tindakan adalah: “bertindaklah sedemikian rupa, sehingga tindakanmu itu menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”. “Bertindaklah menurut peraturan yang pelaksanaannya akan menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”. Maksudnya suatu tindakan adalah baik secara moral jika menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Secara psikologis, kedua penguasa tersebut memberikan perasaan-perasaan tertentu, maka yang terjadi bagi manusia dalam kehidupan nyata adalah menghindari pahit, atau rasa sakit atau mendekatkan diri kepada pleasure (rasa nikmat). Kebahagiaan akan tercipta jika manusia mendekatkan dirinya pada rasa nikmat atau menjauhkan diri dari rasa sakit.
Ada sejumlah art mill ini. Pertama-tama, John Stuart Mill (1806-1873) dalam (Yosephus,2010:93) mengkritik gagasan Jeremy Bentham. Menurut Stuart Mill, karena ada tingkatan dalam kesenangan atau kebahagiaan, maka aspek kualitas dari kesenangan atau mutlak perlu diperhatikan. Apalagi kualitas kesenangan manusia pasti menegaskan “it is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied, better to be socrate than a fool satisfied.” Menurut Stuart Mill, lebih baik menjadi seorang manusia yang tidak puas dari pada menjadi seekor babi yang puas, lebih baik menjadi Socrates yang tidak puas dari pada seorang tolol yang puas dan kita harus bertindak demikian rupa agar tindakan kita menghasilkan akibat baik sebesar mungkin bagi jumlah orang sebanyak mungkin.
Dengan penegasan itu, Stuart Mill menggaris-bawahi kebahagiaan masing-masing atau kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam satu orang. Maksudnya suatu tutur kata atau tindakan adalah baik secara moral, jika menghasilkan lebih besar kebahagiaan dari pada penderitaan. Hal itu harus diukur dari pengalaman semua orang yang melakukan tindakan tersebut, bukan satu orang yang terlibat dalam tindakan itu. Dengan gagasan itu, Stuart Mill tidak hanya memperbaiki gagasan utilitarisme Jeremy Bentham, melainkan juga memperkokohnya. Itulah alasannya mengapa utilitarisme Stuart Mill sebagai “utilitarianisme”, bukan utilitarisme Jeremy Bentham (1748-1832). Secara kodrati, manusia telah ditempatkan di bawah dua penguasa yang berdaulat, yakni : rasa sakit dan rasa nikmat. Dengan kata lain, Bentham menegaskan bahwa dalam keseharian hidup manusia selalu berada di antara kedua penguasa tersebut.
c.       Hedonisme
Hedonism berasal dari kata hedone dalam bahasa Yunani yang berarti ”nikmat atau kegembiraan”. Sebagai paham teori moral, hedonisme bertolak dari asumsi dasar bahwa manusia hendaknya berperilaku sedemikian rupa agar hidupnya bahagia. Dengan singkat namun tegas, kaum hedonisme merumuskan : “carilah nikmat dan hindarilah rasa sakit!”. Berdasarkan rumusan ini, bagaimana hedonism (terutama Aristippos dan Epikuros) memaknai hidup. Bagi mereka hidup adalah upaya menjauhi rasa sakit dan mendekatkan diri pada rasa nikmat.
Motivasi yang paling kuat di balik tujuan-tujuan yang luhur, seperti: penegakan kebenaran dan keadilan serta tujuan-tujuan suci, misalnya penyebaran iman, bahwa dalam melakukan kegiatan apapun juga secara kodrati manusia selalu tergerak mencari dan mendapatkan kenikmatan hidup. Sebuah penipuan diri dan kemunafikan jika ada orang yang mengatakan segala kegiatannya ditunjukkan demi cita-cita luhur atau demi membantu atau menolong orang-orang lain. Jadi, menurut paham hedonism psikologis, manusia itu pada dasarnya sangat egois karena segala tindakannya hanya ditunjukkan untuk mendapatkan kenikmatan dirinya sendiri.
Epikus (341-270 SM) memandang kenikmatan sebagai tujuan hidup manusia dan secara kodrati manusia selalu tergerak untuk mencari kenikmatan bagi dirinya sendiri. Hal itu disebabkan secara fisik, tubuh manusia merupakan dasar sekaligus akar dari segala kenikmatan manusiawi. Menurut Epikus, ada tiga jenis keinginan dalam diri manusia yang dapat memotivasi seseorang mengupayakan kenikmatan, yaitu : (1) Keinginan alamiah yang mutlak perlu, seperti keinginan untuk makan dan minum. Keinginan alamiah seperti ini selalu berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan yang paling primer dari manusia, (2) Keinginan alamiah yang dapat ditunda, misalnya keinginan untuk makan enak atau keinginan untuk mendapatkan televisi baru yang lebih besar padahal sudah memiliki televisi kecil, (3) Keinginan yang sia-sia atau keinginan yang belum pasti realisasinya, seperti ingin menjadi kepala negara atau ingin memiliki lukisan karya Leonardo da Vinci.
Epikos menganjurkan agar manusia selalu memandang kehidupan sebagai sesuatu keseluruhan yang terdiri dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Epikos telah menyatu dalam satu keinginan saja yang sekaligus mencirikan derap jelajah bisnis kontemporer, yaitu meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Upaya meraup keuntungan kini telah bergeser dari upaya-upaya yang bersifat co-speed menjadi co-present. Semua strategi bisnis kontemporer sebagaimana dapat ditelusuri melalui analisis jitu terhadap akurasi penetapan SWOT dan SWAN menunjukkan bahwa maximizing profit telah menjadi tujuan, sekaligus mengilhami dan memotivasi para pebisnis kontemporer untuk memenuhi keinginan para pembisnis kontemporer ”to have more”. Pada tatanan ini, menjadi orang bijak yang menurut sang hedonis, Epikos lalu menjadi sesuatu yang hampir tidak mungkin dicapai oleh para pebisnis kontemporer.
d.      Teori Kewajiban (deontologisme)
Teori deontology justru mengukur baik atau buruknya suatu tindakan dari segi wajib dan tidaknya perbuatan tersebut dilakukan. Kata “deon” (Yunani) dari istilah deontology berarti kewajiban atau apa yang wajib dilakukan. Sistem atau teori moral ini pertama kali diajukan oleh filsuf-etikawan Jerman, Immanuel Kant (1724-1904).
Menurut Immanuel Kant inti ajaran deontology yang disebut baik dalam arti yang sesungguhnya, hanyalah “good will” atau kehendak baik. Jadi, good will, hanya bisa dikatakan baik jika memenuhi persyaratan tertentu. Pada tataran ini, politik, bisnis, kepandaian, atau kekuasaan adalah good will atau kehendak baik.
Menurut Kant, kehendak itu menjadi baik, kalau yang menjadi dasar dari suatu tindakan adalah kewajiban. Dengan demikian Kant menggaris-bawahi, bahwa suatu perbuatan secara moral adalah baik jika orang yang melakukannya menghormati atau menghargai hukum moral. Hukum moral yang dimaksudkan Kant adalah kewajiban seorang berkehendak baik jika ia hanya menghendaki untuk melakukan yang wajib baginya. Apa yang wajib baginya, yaitu: Pertama, ia dapat memenuhi kewajibannya karena hal itu menguntungkan dirinya, misalnya mendapatkan nama baik atau penghargaan dari orang lain. Kedua,ia melaksanakan kewajibannya karena merasa adanya dorongan langsung dalam hatinya untuk melakukan hal itu, misalnya membantu orang yang mengalami musibah karena terdorong oleh rasa belas kasihan atau rasa iba yang merupakan dorongan langsung dari dalam hatinya. Ketiga, ia melakukan kewajibannya karena ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya.
Bagi Immanuel Kant, satu-satunya kriteria untuk kewajiban moral adalah imperative kategoris yang berbunyi: ”bertindaklah secara moral!” imperative disini berarti perintah yang bernada wajib (das sollen) bukan permintaan, pertama imperative hipotesis, yakni perintah atau keharusan bersyarat, misalnya kalau ingin mempunyai uang, bekerjalah. Kedua imperative tanpa syarat.
e.       Teori Keutamaan (virtue ethics)
Apapun pekerjaan dan profesinya selalu ingin menjadi orang menjadi kuat secara moral yang berarti memiliki kepribadian yang mantap sehingga selalu sanggup bertindak sesuai dengan apa yang diyakini sebagai baik dan benar. Kepribadian yang kuat dan mantap secara moral disebut “keutamaan moral”.
Ada beberapa keutamaan moral diantaranya sebagai berikut :
1.      Kejujuran
Secara umum kejujuran diakui sebagai keutamaan atau sikap moral pertama sekaligus terpenting yang harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya para pebisnis sebagai makhluk beretika, sampai saat ini diakui bahwa kejujuran identik dengan kesesuaian antara kata-kata atau ucapan dengan fakta atau perbuatan. Dalam praksis hidup, orang lebih cenderung memaknai kejujuran dalam format negatif seperti tidak berbohong atau tidak menipu. Seorang pebisnis kontemporer disebut “orang jujur” jika segala perkataan yang diucapkan, termsuk janji-janjinya sesuai dengan fakta atau tindakannya, yakni menepati janji-janjinya. Apa yang dijanjikan dalam kontrak atau kesepakatan (transaksi) entah dengan pihak luar (mitra bisnis dan pelanggan konsumen) atau dengan pihak dalam perusahaan (KKB) selalu ditepati.
Pebisnis yang jujur tentu akan menganggap kebohongan sebagai sesuatu yang tabu untuk dilakukan, sebab kejujuran kerap dirasakan sebagai sesuatu yang sangat mahal.
2.      Kepercayaan
Sebagai keutamaan yang wajib dimiliki oleh para pebisnis kontemporer, kepercayaan selalu bersifat timbal balik. Maksudnya, pembisnis yang selalu percaya kepada pihak lain mengandaikan bahwa pihak-pihak lain, apakah karyawan atau mitra bisnis dan pelanggan akan mempercayainya juga. Ciri timbal balik dalam hal kepercayaan juga menuntut sikap kritis dari seorang pebisnis. Implikasinya, seorang pembisnis memang harus bersikap selektif dalam memilih mitra bisnis, termasuk menyeleksi dan memilih karyawan atau stafnya.
Tujuan mengendalikan strategi dan taktik merupakan hal-hal yang sangat menentukan bagi keberhasilan sebuah bisnis untuk mencapai tujuan tersebut. Pada tatanan strategi dan taktik inilah sikap-sikap moral yang kuat, khususnya kepercayaan selalu mendapatkan tanggapan berat. Kesamaan tujuan mengindikasikan bahwa sikap yang bertentangan dengan kepercayaan bukan tabu untuk dilakukan oleh pebisnis kontemporer. Pada tatanan ini, ”selektivitas” dalam memilih mitra bisnis atau dalam menerima karyawan merupakan kata kunci yang tidak bisa ditawar-tawar.
3.      Tanggung Jawab
Sebagai keutamaan moral, tanggung jawab pertama-tama merupakan sikap terhadap tugas yang membebani seorang pebisnis dan karyawan atau stafnya. Baik pengusaha maupun karyawan merasa terikat untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dipercayakan atau yang diemban. Dalam implikasinya, tanggung jawab tidak pernah memberi ruang untuk sikap-sikap, seperti malas, acuh tak acuh, dan ragu-ragu. Sikap tanggung jawab menuntut bahwa sesuatu itu dilakukan dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Dalam bahasa moral, tugas yang dilakukan secara bertanggung jawab disebut sebagai tugas mulia karena harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, termasuk jika tidak ada yang melihat atau mengawasi pelaksanaannya. Di sini, kesediaan untuk bertanggung jawab merupakan entry-point yang dapat mengantarkan seseorang ke singgasana moralitas sebagai good risk-taker.
Tugas yang dilakukan secara bertanggung jawab merupakan tugas mulia karena harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, meskipun tidak ada pimpinan yang melihat atau supervisor yang mengawasi pelaksanaannya adalah sama dengan mengatakan bahwa secara hakiki tanggungjawab mengatasi etika peraturan yang pada dirinya sendiri tak terpisahkan dari pengawasan atau pengontrolan. Pada tatanan ini, wawasan orang, apakah manajer atau karyawan yang selalu bersedia untuk bertanggung jawab atas tugas yang dipercayakan kepadanya bersifat tak terbatas. Mereka merasa bertanggung jawab kapan dan di mana pun berada. Pebisnis, manajer, dan karyawan yang memiliki sikap seperti ini merupakan pribadi-pribadi yang selalu bersikap positif, kreatif, kritis, dan objektif terhadap kondisi riil perusahaan.
Selanjutnya pribadi-pribadi yang bertanggung jawab pastilah orang-orang yang selalu bersedia dimintai dan memberikan pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugas dan kewajiban, termasuk jika mereka lalai dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab. Orang-orang yang bertanggung-jawab selalu siap menjadi good risk-taker. Mereka tidak pernah melemparkan tanggung jawab.
4.      Keberanian Moral
Keberanian moral selalu berkaitan dengan kemampuan intelektual untuk menentukan penilaian sendiri terhadap sesuatu. Keberanian moral terlihat dengan sangat jelas ketika mereka menolak tegas untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma moral dan hukum yang ditawarkan kepada mereka, meskipun mereka sebenarnya membutuhkan atau ada kesempatan yang memadai untuk melakukan hal itu, misalnya kesempatan untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme atau mengambil keuntungan pribadi walaupun untuk penolakan dalam hal-hal seperti itu mereka akan dikucilkan atau dicela oleh yang lain.
Orang yang memiliki keberanian moral selalu menjadikan dirinya sendiri pijakan bagi kaum yang lemah, atau yang mederita karena tingkah serta tindakan kelompok kuat atau pihak yang berkuasa.
5.      Fairness
Sering orang mengidentikkan dengan “rasa adil”, namun ketika diterapkan ternyata tidak sama dengan keadilan. Terkadang juga diidentikkan dengan sikap sportif, ketika diterapkan dalam kondisi konkret ternyata tidak juga persis sama dengan sportifitas. Sesuatu kondisi yang persis mewakili pengertian istilah fairness adalah “kesediaan memberikan apa yang patut diberikan kepada semua orang”. Pada tatanan bisnis, kata “patut” di sini menunjuk kepada apa yang dapat diterima atau disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis.
Seorang pebisnis dapat dikategorikan sebagai seorang yang memiliki keutamaan ini jika pebisnis tersebut selalu bersedia memberikan apa yang patut diberikan kepada pihak lain, apakah karyawan, pemasok, dan pelanggan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban. Sebaliknya, pebisnis yang berkeutamaan moral seperti ini selalu bersedia menerima apa yang patut diterima dari pihak lain, misalnya menerima hasil pekerjaan yang telah dipercayakan kepada karyawannya. Itulah indikasi keutamaan fairness yang patut dimiliki oleh seorang pebisnis kontemporer yang berkepribadian moral yang kuat. Pebisnis seperti itu tidak hanya bersikap selalu realistik memainkan tetapi juga kritis dalam melaksanakan bisnisnya.
6.      Realistik-kritis
Keutamaan sikap moral ”realistik” dan “kritis” lebih berkaitan dengan wilayah kognitif atau wilayah intelektual manusia, termasuk para pebisnis kontemporer. Dalam proses bisnis, setiap pengusaha akan menghadapi berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang, seperti sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, agama dan sebagainya. Dalam keberagaman itu para manajer dan karyawan memiliki harapan, komitmen dan tingkat loyalitas yang berbeda.
Dalam menghadapi keberagaman latar seperti itu, seorang pembisnis terpanggil untuk bertanggungjawab terhadap hidup mereka. Para manajer dan karyawan yang berasal dari latar belakang berbeda adalah identik dengan menegaskan orang-orang seperti itu (manajer dan karyawan) adalah orang-orang riil. Konsekuensinya, seorang pebisnis kontemporer harus berlaku riil dalam tanggungjawabnya terhadap mereka. Pembisnis wajib membuka mata fisik dan mata pikiran terhadap realita yang ada, baik yang menyangkut perusahaan atau usahanya maupun menyangkut kondisi riil manajer dan karyawannya. Dengan cara seperti itu seorang pebisnis kontemporer yang baik secara moral akan melaksanakan tanggung-jawabnya dengan baik. Seorang pebisnis kontemporer harus bersikap realitis dalam tutur kata dan tindakannya, bukan bersembunyi dibalik ungkapan-ungkapan yang kabur maknanya.
7.      Rendah Hati
Pertama-tama harus digaris bawahi bahwa sikap moral dan rendah hati tidak ada sangkut pautnya dengan “rasa sungkan” kepada atasan atau rekan kerja yang lebih tua usianya, enggan untuk membela suatu pendirian atau merendahkan diri ke kuasa pimpinan. Seseorang melihat dirinya sendiri apa adanya, apakah sebagai karyawan, manajer atau sebagai pimpinan puncak sebuah bisnis. Dalam konteks bisnis kontemporer, sikap rendah hati merupakan kekuatan batin yang membuat semua pihak yang terlibat untuk melihat diri dan menampilkan dirinya apa adanya.
8.      Hormat kepada Diri Sendiri dan Diri-diri lain
Sebagai keutamaan moral, hormat terhadap diri sendiri atau orang lain merujuk kepada suatu kewajiban yang sebenarnya ditujukan kepada diri sendiri dan terhadap orang lain. Hormat terhadap diri sendiri dan orang lain atau sesama berarti bahwa manusia wajib memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain sebagai bernilai. Hal ini didasarkan pada prinsip umum bahwa manusia merupakan pusat dari segala pengertian, kehendak, memiliki kebebasan, dan suara hati serta merupakan insan yang berakal budi.
Model Etika Dalam Bisnis
Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya.
1.      Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.
2.      Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
Widyahartono (1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai berikut :
Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan yang aturannya sangat berbeda dari aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang menghasilkan segala cara.
Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan.
Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.
3.      Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.











Sumber dari :
disertasi Js. Drs. Ongky Setio Kuncono, MM, MBA, Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang  Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar